Rabu, 03 Februari 2010

Fungsi Parsumpahan Dalam Prasasti Masa Sriwijaya Abad VII-IX

Fungsi Parsumpahan Dalam Prasasti Masa Sriwijaya Abad VII-IX

1 Pendahuluan

1.1 Sejarah Berdiri Kerajaan Sriwijaya

Kerajaan Sriwijaya merupakan sebuah kerajaan besar yang pernah berdiri di Nusantara. Bukti – bukti yang menegaskan hal ini baik tekstual atau non tekstual telah banyak ditemukan untuk kemudian dilakukan penelitian. Salah satu peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang cukup menarik adalah prasastinya. Prasasti Sriwijaya yang hingga saat ini berjumlah 15 buah dapat dikatakan sedikit jumlahnya dibandingkan dengan prasasti – prasasti yang berasal dari kerajaan – kerajaan di Jawa. Tetapi dari 15 buah prasasti Sriwijaya yang ditemukan tujuh (7) diantaranya memuat parsumpahan yaitu Prasasti Kota Kapur, Karang Berahi, Palas Pasemah, Telaga Batu, Jabung/Bungkuk, dan Boom Baru. Ketujuh prasasti ini selanjutnya akan dijadikan objek penulisan kali ini.

Parsumpahan termasuk kedalam bahasa Melayu Kuno dari kata dasar sumpah dan mendapat konfiks par-an yang menyatakan sesuatu alat (Kartakusuma, 1999: 52-53). Pengertian parsumpahan pada dasarnya serupa dengan pengertian sapatha yang berasal dari bahasa Jawa Kuno yaitu sebuah kutukan atau sumpah yang diucapkan kepada setiap orang yang berani merusak prasasti atau mengubah aturan-aturan yang terdapat di dalamnya (Bakker, 1972 : 23).

1.2 Peranan Kerajaan Sriwijaya dalam Perdagangan di Asia Tenggara

Kerajaan Sriwijaya pada masanya merupakan sebuah kerajaan besar yang menguasai Selat Malaka dimana saat itu, Selat Malaka dikenal sebagai jalur perdagangan yang ramai dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai penjuru dunia, sebut saja, Eropa, Cina, Arab, India, dll. Peranan Sriwijaya dalam aktifitas perdagangan dunia cukup diperhitungkan. hal ini dikarenakan terjalinnya hubungan dagang yang baik antara dua negara besar yaitu Cina dan India sebagai negara - negara terkuat di kawasan Asia.

Hubungan antara Sriwijaya dan India terbukti dengan ditemukannya sebuah prasasti yaitu prasasti Nalanda yang berisi tentang adanya kerjasama dalam mendirikan sebuah asrama di Nalanda sebagai tempat bagi pelajar Nusantara yang ingin menuntut ilmu di India. prasasti Nalanda ini di keluarkan oleh Raja Dewapaladewa. kemudian prasasti Ligor A juga menyebutkan tentang pendirian sebuah vihara yang dilakukan oleh raja sriwijaya. vihara tersebut ditujukan bagi Padmapani, Sakyamuni, dan Vajrapani. selain kedua prasasti diatas prasasti Leiden juga diketahui memuat informasi tentang adanya hubungan yang terjalin antara Sriwijaya dan India yaitu memuat tentang pembangunan biara Cudamaniwarman di Nagapitana dengan tujuan untuk mempererat hubungan politik dan keagamaan serta hubungan dagang antara kedua negara tersebut.

Hubungan antara Cina dan Sriwijaya tertulis didalam beberapa kronik Cina, salah satunya yang terkenal adalah catatan harian pendeta I-tsing dimana beliau menyarankan kepada pendeta pendeta Cina yang ingin menuntut ilmu di India hendaknya singgah dulu di Sriwijaya untuk memperdalam kemempuan tata bahasa Sanskerta. dalam bidang perdagangan Cina dikenal sebagai penghasil terbaik dari kain sutra dan kerami keramiik yang sangat digemari oleh para bangsawan di Sriwijaya. sehingga hubungan dalam bidang perdagangan maupun keagamaan antara Cina pun semakin terjalin dengan baik. Namun Sriwijaya juga diketahui tidak hanya menjalin hubungan dalam bidang perdagangan dengan dua negara terkuat tersebut tetapi juga dengan beberapa negara kecil lainnya seperti,

1.3 Kondisi Sosial-Ekonomi-Politik Masyarakat Kerajaan Sriwijaya

Dalam prasasti parsumpahan masa Sriwijaya tersirat bahwa saat itu ada sekelompok masyarakat, penduduk, bahkan juga kaum elit pemerintahan (bangsawan) yang tidak mau tunduk kepada perintah Raja Sriwijaya. Dikatakan tersirat, karena memang tidak ada informasi atau data yang secara jelas menyatakan bahwa peristiwa kejahatan atau pelanggaran telah terjadi, namun dapat pula dipahami bahwa suatu perangkat aturan dibuat tidak sepenuhnya bermakna preventif. Kemungkinan besar juga suatu aturan dibuat karena sebelumnya telah terjadi pelanggaran atau semacamnya yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang. Dalam prasasti Telaga Batu disebutkan secara rinci mengenai kaum elit pemerintahan mulai dari yang menduduki jabatan tertinggi sebagai putra mahkota sampai yang terendah. Bukan mustahil di antara mereka telah ada yang berbuat salah dengan sengaja maupun tidak. Selain itu, boleh jadi juga banyak terjadi perbuatan – perbuatan yang meresahkan masyarakat. Seperti memasang guna – guna, membunuh, meracun, dan berkhianat yang tentunya akabn menyebabkan keresahan di kalangan warga Kerajaan Sriwijaya.

Adanya peristiwa – peristiwa di atas mengharuskan seorang pemimpin dalam hal ini raja Sriwijaya untuk membuat sebuah aturan yang sifatnya mengikat dan cenderung memaksa bagi setiap warga kerajaan Sriwijaya. Aturan – aturan inilah yang akan mengatur warganya untuk tetap taat dan setia pada kerajaan, sudah tentu disertai dengan pengawasan dari pihak kerajaan. Aturan – aturan ini diwujudkan dalam bentuk larangan dan sanksi berupa sumpah/kutukan, yang dituangkan dalam media prasasti. Sumpah/kutukan ini disebut dengan parsumpahan. Dikeluarkannya parsumpahan dalam prasasti ini disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor merupakan unsur atau elemen dasar yang mempengaruhi suatu hal atau peristiwa. Faktor – faktor yang melatar-belakangi Raja Sriwijaya mmengeluarkan parsumpahan dalam prasasti Sriwijaya ini meliputi, meliputi faktor politik, faktor sosial faktor , dan keagamaan.

2 Prasasti-prasasti parsumpahan

2.1 Karang Berahi

Prasasti ini ditemukan pada tahun 1904 oleh L. Berkhout, kontrolir di Bangko, Provinsi Jambi sekarang. Prasasti ini terdiri atas 16 baris tulisan dan dipahat pada batu berbentuk ½ elips. Ukuran tinggi 78 cm dan lebar 62 cm. Kern berpendapat berdasarkan bentuk aksaranya yang sejenis dengan aksara pada prasasti Canggal yang bertarikh 732 M dan prasasti Kota Kapur, kemungkinan prasasti ini sejaman dengan prasasti Canggal dan prasasti Kota Kapur.

2.2 Telaga Batu

Prasasti ini ditemukan di Palembang sekaligus menjadi bukti bahwa di Palembang pusat Kerajaan Sriwijaya berada. Prasasti ini berisikan tentang kutukan terhadap siapa saja yang melakukan kejahatan dan tidak taat kepada perintah raja dan menyebutkan nama – nama pejabat birokrasi Sriwijaya. Bentuk prasasti Telaga Batu ini terbilang istimewa karena pada bagian permukaannya datar dan pada bagian bawah terdapat cerat yang berfungsi sebagai saluran air seperti halnya yoni. Bagian atas prasasti dihiasi oleh 7 kepala ular kobra berbentuk pipih dan bermahkota permata, menyerupai seni arca kuno di Khmer dan Thailand. Prasasti ini terdiri atas 28 baris yang dipahat menggunakan aksara Pallawa dan bahasa Melayu Kuno dan memiliki tinggi 149 cm, lebar 124 cm, dan tebal 29 cm.

2.3 Kota Kapur

Batu prasasti Kota Kapur ditemukan di tepi Desa Kota Kapur. Prasasti Kota Kapur adalah salah satu dari enam buah prasasti parsumpahan yang dibuat oleh Dapunta Hyang, seorang raja dari kerajaan Sriwijaya. Prasasti ini dipahatkan pada sebuah batu yang berbentuk tugu bersegi banyak dengan ukuran tinggi 177 cm, lebar 32 cm pada bagian dasar, dan 19 cm pada bagian puncak. Agaknya batu ini didatangkan dari luar karena di Pulau Bangka sendiri tidak terdapat jenis batu tersebut (Coedes, 1989 : 62).

2.4 Palas Pasemah

Prasasti Palas Pasemah ditemukan tahun 1958 di sebuah areal yang kemudian diberi nama Situs Palas Pasemah, di tepi Sungai (way) Pisang, anak sungai dari Way Sekampung. Ukuran tinggi prasasti 75 cm, dan lebar pada bagian bawah 50 cm. prasasti ini berisi 13 baris (Utomo, 2003 : 72). Berdasarkan aksaranya, tulisan tersebut diperkirakan berasal dari sekitar abad ke – 7 Masehi (Boechari, 1979 : 20).

2.5 Boom Baru

Prasasti ini dipahatkan di atas batu kali. Tulisan terdiri dari 12 baris, berdasarkan bentuk tulisannya tampaknya prasasti ini dipahat dengan huruf yang sama dengan huruf – huruf pada prasasti Palas Pasemah. Berdasarkan Paleographisnya prasasti ini diperkirakan sejaman dengan prasasti Palas Pasemah. Isinya hampir sama dengan prasasti Palas Pasemah hanya ada beberapa bagian dalam prasasti Palas Pasemah tidak terdapat dalam prasasti Jabung/Bungkuk.

2.6 Jabung/Bungkuk

Prasasti ini ditemukan dipinggir Sungai Musi, Kelurahan 3 Ilir kec, Ilir timur II dekat makam – makam Raja Palembang. Tempat ditemukannya prasasti ini juga disebut Boom Baru. Tetapi ternyata tempat ditemukannya prasasti ini bukan merupakan tempat aslinya. Mungkin batu ini terbawa arus Sungai Musi dan terambil bersama material sungai lainnya (Atmodjo: 1992 ; Raswaty, 1997 : 34 – 35). Prasasti ini masih tersimpan di Museum Balaputradewa Palembang. Prasasti ini masih menggunakan aksara dan bahasa yang sama dengan prasasti parsumpahan sebelumnya yaitu Pallawa dan Sanskerta. Ditinjau dari segi paleografinya, prasasti ini berasal dari sekitar akhir abad VII (Atmodjo, 1994 : 3).

3 Pembahasan

3.1 Fungsi Sosial

Manusia pada dasarnya hidup berdasarkan atas aturan – aturan yang telah disepakati. Aturan – aturan ini ditetapkan dengan cara tertentu sesuai kesepakatan bersama agar tercapai kondisi yang aman, damai dan tenteram sesuai cita – cita bersama. Berkaitannya dengan Kerajaan Sriwijaya, Raja Sriwijaya saat itu menginginkan keadaan di wilayah kekuasaannya aman, damai tanpa ada gangguan dari dalam wilayah kekuasaannya. Hal ini juga dilakukan oleh kerajaan – kerajaan lain yang ada di Indonesia.

Sama halnya dengan parsumpahan dalam prasasti Sriwijaya sebagai sebuah aturan yang dikeluarkan oleh Raja Sriwijaya yang bertujuan untuk mengatur warganya, dalam hal ini parsumpahan dianggap berfungsi sebagai alat ¬pengendalian sosial (kontrol sosial). Pengendalian sosial adalah pengawasan terhadap individu maupun kelompok yang mencakup segala proses baik yang direncanakan maupun tidak, bersifat mendidik, mengajak, bahkan memaksa warga masyarakat untuk mematuhi kaidah – kaidah dan nilai – nilai yang berlaku (Herdiyanto, 2008 : 5-6). Dilihat dari segi sifatnya, pengendalian sosial dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu :

1. Preventif, yaitu pengendalian sosial yang dilakukan sebelum terjadi pelanggaran. Hal ini bisa saja diantisipasi dengan jalan memberikan bimbingan dan pendidikan terhadap anggota masyarakat supaya tidak melakukan pelanggaran. Artinya mementingkan pada pencegahan agar tidak terjadi pelanggaran

2. Represif, pengendalian sosial yang dilakukan setelah orang melakukan suatu tindakan penyimpangan (deviasi), Pengendalian sosial ini bertujuan untuk memulihkan keadaan seperti sebelum terjadinya tindakan penyimpangan. (Herdiyanto, 2008 : 7-8).

Berdasarkan keterangan di atas, tampaknya parsumpahan berfungsi sebagai alat pengendalian sosial yang bersifat represif. Hal ini dikarenakan dalam prasasti yang memuat parsumpahan telah diuraikan secara terperinci mengenai tindakan – tindakan yang dikenai sumpah terutama uraian yang terdapat dalam prasasti Telaga Batu. Hal ini menunjukkan bahwa tindakan yang di sebut dalam prasasti tersebut pernah terjadi dan mengganggu stabilitas kerajaan. Namun sampai sejauh ini belum ada bukti yang menyebutkan mengenai hal tersebut dan mengenai pelaksanaan hukuman sebagaimana yang tercantum dalam prasasti parsumpahan Sriwijaya.

Selain fungsinya sebagai alat pengendalian sosial, parsumpahan juga diharapkan dapat memberikan kesejahteraan bagi rakyat Sriwijaya yang menaatinya. hal ini tertulis dalam setiap prasasti parsumpahan Sriwijaya berupa berkah (pahala baik) yang diberikan oleh Raja Sriwijaya apabila mereka selalu mengikuti dan mentaati aturan – aturan yang sudah ditetapkan. Berikut kutipan berkah (pahala baik) dalam prasasti Karang Berahi.

“14. ... kadāci iya bhakti tattwārjjawa diy āku dnan di yam ni

15. nigalarku sanyāsa datuā sānti muah kawuatāna dnan

gotrasantānānā samrddha

16. swastha niroga nirupadrawa subhiksa muah yam wanuāna

parāwis //”

Terjemahannya,

“14. … akan tetapi jika orang yang takluk setia kepada saya dan kepada mereka yang oleh saja

15. diangkat sebagai datu, maka moga – moga mereka diberkahi, juga marga dan keturunannya; dengan keberhasilan,

16. kesentosaan, kesehatan, kebebasan dari bencana, kelimpahan segalanya untuk semua negeri mereka //” (Coedes, 1989 : 63 – 65)

Parsumpahan dalam prasasti Sriwijaya ternyata tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk mengatur setiap tindakan yang dilakukan oleh warga kerajaan Sriwijaya dan menghukum setiap orang yang melanggar aturan – aturan di dalamnya. Parsumpahan juga dipercaya mampu membawa kesejahteraan dan menciptakan kondisi yang aman, tenteram di wilayah Kerajaan Sriwijaya.

3.2 Fungsi Keagamaan

Sesuai dengan ajaran agama Buddha yang mengatakan bahwa seorang raja tidak hanya memimpin dalam bidang politik dan sosial tetapi juga dalam bidang keagamaan. Hal ini karena agama sering kali dijadikan motif bagi keputusan – keputusan politik, peraturan – peraturan ekonomi dan pernyataan – pernyataan kebudayaan ( Bleeker, 1864 ; cf, Widiani, 1996 : 104). Agama merupakan suatu jenis sistem sosial yang dibuat oleh penganut – penganutnya yang bersumber pada kekuatan nonempiris yang dipercayainya dan didayagunakannya untuk memperoleh keselamatan bagi diri sendiri dan masyarakat luas umumnya. Agama juga tidak hanya mengenai hal – hal yang nonempiris saja tetapi juga dapat digunakan untuk mengatasi persoalan – persoalan tertinggi dalam kehidupan manusia.

Dalam kehidupan masyarakat agama berfungsi sebagai alat pengendalian sosial. Pada dasarnya setiap agama yang ada didunia ini pasti mengajarkan kebaikan bagi umatnya, mematuhi segala perintahNya dan menjauhi segala larananNya. Dalam agama Hindu dikenal istilah Karmaphala yaitu setiap pebuatan yang baik akan menghasilkan pahala yang baik dan setiap perbuatan yang buruk pasti akan mendapatkan pahala yang buruk pula. Hal ini juga yang terdapat dalam kepercayaan Buddha, apabila penganutnya ingin memperoleh kesempurnaan, maka setiap ajaran – ajaran agama (Dhamma) yang ada wajib untuk dipahami untuk kemudian diamalkan bagi kebaikan seluruh umat manusia.

Dalam konteksnya dengan kerajaan – kerajaan Kuno di Indonesia, agama merupakan salah satu faktor penting dalam sebuah kerajaan. Setiap tindakan dari warga kerajaannya selalu dihubungkan dengan agama. Bahkan hampir di semua prasasti Indonesia yang telah ditemukan terkandung unsur – unsur keagamaan. Sama halnya dengan Kerajaan Sriwijaya yang juga berdasar pada agama yaitu agama Buddha, dalam setiap keputusan yang dikeluarkan oleh raja Sriwijaya haruslah sesuai dengan ajaran – ajaran agama Buddha sebagaimana yang tercantum dalam prasasti Talang Tuwo.

Agama diharapkan dapat berperan sebagai penegak, pelestari, peningkat nilai, norma, atau aturan – aturan yang berdampak positif bagi pertumbuhan moral masyarakat, serta diharapkan dapat memberikan sanksi terhadap pelanggaran – pelanggaran yang ada (Hendropuspito, 1986 : 47). Unsur keagamaan yang terdapat dalam prasasti Sriwijaya pada umumnya dan parsumpahan pada khususnya adalah tentang adanya penyebutan nama dewa yang dipercaya oleh warga kerajaan. Penyebutan nama dewa ini dalam prasasti parsumpahan Sriwijaya meliputi dewa – dewa lokal yang dipercaya dapat melindungi seluruh wilayah Kerajaan Sriwijaya dan dipercaya mampu memberikan kesejahteraan bagi seluruh warga Kerajaan Sriwijaya. Berikut nama dewa – dewa yang tercantum dalam prasasti Karang Berahi.

“... kita sawañakta dewata mahardhika sannidhāna mamrakşa yam

kadatuan Śriwijaya kita tuwi tandrun luah wañakta dewata mūlāña yam parsumpahan...”

Terjemahannya

“...Wahai sekalian dewata yang berkuasa, yang sedang berkumpul dan yang melindungi [kadatuan] Sriwijaya [ini] : juga kau Tandrun Luah [?] dan semua dewata yang mengawali setiap mantra kutukan...” (Coedes, 1989 : 63 – 65)

Identifikasi terhadap nama dewa – dewa lokal dalam prasasti Sriwijaya sangat sulit dilakukan karena adanya penggunaan bahasa yang sudah tidak digunakan lagi saat sekarang sehingga sulit untuk menafsirkan sementara artinya. Sebuah pendapat pernah dikemukakan oleh Poerbatjaraka (1951 : 41) mengenai nama salah satu dewa yang di seru dalam prasasti parsumpahan Sriwijaya. Beliau menganggap nama tersebut sama dengan kata Tandam Lwah dalam prasasti Jawa berarti “arwah penguasa hulu sungai”. Penyamaan istilah Tandrun Luah dengan Tandam Lwah ini memang bisa diterima mengingat kondisi geografis wilayah Kerajaan Sriwijaya yang terletak di dekat sungai Musi. Berdasarkan uraian tersebut dapat dilihat bahwa peranan agama memang sangat besar dalam kehidupan manusia. Agama mampu mencegah seseorang untuk berbuat kejahatan karena adanya keyakinan bahwa setiap perbuatan yang baik pasti akan membawa hasil yang baik dan sebaliknya setiap perbuatan yang buruk maka akan membawa hasil yang buruk pula. Selain itu keyakinan tentang adanya dewa – dewa yang memiliki kekuatan melebihi manusia biasa membuat manusia akan selalu berhati – hati dalam berpikir dan bertindak agar tidak mendapat hukuman/sanksi.

3.3 Fungsi Politik

Pada subbab yang lalu telah dijelaskan bahwa Sriwijaya melakukan aktivitas politik perluasan wilayah baik di Nusantara ini maupun luar Nusantara. Bukti yang menunjukkan hal itu tercantum dalam prasasti Kedukan Bukit dan hampir di semua prasasti parsumpahan yang mendominasi prasasti Sriwijaya. Banyaknya prasasti Sriwijaya yang memuat parsumpahan, diperkirakan prasasti parsumpahan ini memiliki peranan yang penting dalam bidang politik, khususnya mengenai kekuasaan raja.

Raja merupakan tokoh yang sangat mulia, agung, dan patut dijadikan panutan dalam bertingkah laku, pernyataan – pernyataan ini sering ditemukan di dalam prasasti dan sumber - sumber sastra (Tara Wiguna, 1995; Widiani, 1996 : 96 – 97). Disebutkan dalam kakawin Ramayana tentang kedelapan sifat dewa (astabrata) yang dipakai oleh seorang raja dalam kepemimpinannya, contohnya seorang raja harus memiliki sifat Dewa Indra, yang menghujani rakyatnya dengan anugerah dan seorang raja harus memiliki sifat seperti Dewa Yama, yang berhak menghukum orang yang melanggar hukum (Darmosoetopo, 2003 : 2).

Dalam masyarakat Sriwijaya yang menganut ajaran agama Buddha, dikenal istilah cakravartin, yaitu raja jagad raya. Cakravartin adalah pengganti Boddhisatva, yaitu Buddha masa depan, di dunia itu (Raswaty, 1997 : 102). Dengan adanya kepercayaan masyarakat yang menganggap seorang raja sebagai pemimpin jagat raya yang berpedoman pada ajaran agama Buddha maka raja diharapkan dapat menciptakan kehidupan masyarakat yang aman, tertib dan teratur. Banyak prasasti dan naskah kuno menyebutkan tentang kedudukan seorang raja yang dianggap mewakili sifat seorang dewa atau banyak dewa. Sifat-sifat kedewaan itu dilukiskan dalam berbagai cara sesuai dengan kepercayaan yang dianut. Teori tentang “penitisan” dewa ke dalam diri seorang raja pada waktu dulu dapat dipergunakan untuk meninggikan posisi sebagai raja yang sah, dan sebagai pembenaran atau pengesahan dalam merampas takhta kerajaan.

Cara inilah yang dilakukan oleh Raja Sriwijaya yaitu dengan mengeluarkan sebuah aturan yang ditujukan agar masalah – masalah yang muncul di dalam kerajaan saat itu dapat teratasi baik di dalam maupun luar wilayah kekuasaan Sriwijaya. Aturan tersebut adalah parsumpahan yang terdapat dalam prasasti Sriwijaya dan dikeluarkan oleh Raja Sriwijaya berupa larangan – larangan dan sumpah serapah beserta sanksi bagi siapa saja yang berniat untuk melanggar aturan di dalamnya termasuk jika ada yang berniat untuk melakukan pemberontakan.

Parsumpahan dalam prasasti Sriwijaya ditemukan tersebar diberbagai tempat dan diperkirakan sebagai daerah taklukan Sriwijaya. Berdasarkan hal ini parsumpahan berfungsi sebagai alat untuk mencegah atau menghindari terjadinya tindakan – tindakan menyimpang yang dilakukan oleh warga di daerah taklukkan Sriwijaya. Oleh sebab itu bukan mustahil pada zaman dahulu prasasti merupakan bagian yang penting dalam kehidupan masyarakat. Parsumpahan ini juga bertujuan untuk menciptakan keamanan, ketenteraman, dan ketertiban di wilayah Sriwijaya.

Kemudian tampak ada tujuan lain Raja Sriwijaya mengeluarkan parsumpahan dalam prasasti Sriwijaya terutama menyangkut peranan serta kedudukan raja di dalam wilayah Kerajaan Sriwijaya yaitu untuk memperkokoh kekuasaannya (legitimasi kekuasaan). Seperti yang dikemukakan oleh N.J. Krom mengenai parsumpahan sebagai salah satu bentuk legitimasi kekuasaan raja terhadap rakyatnya, agar selalu patuh, taat, dan setia terhadap Sriwijaya untuk mencapai kondisi kerajaan yang aman, dan tenteram (Mulyana, 2006 : 157).Adanya usaha legitimasi dari seorang Raja Sriwijaya ini tentunya akan membawa dampak yang baik bagi keutuhan dalam negeri terutama ketika Kerajaan Sriwijaya harus ditinggalkan oleh raja dan bala tentaranya saat melakukan penyerangan ke luar negeri.

4 Penutup

4.1 Kesimpulan

Dari pembahasan di atas, maka dapat ditarik simpulan sementara, dalam arti simpulan ini sewaktu – waktu dapat berubah apabila ditemukan data – data yang lebih akurat sesuai dengan perkembangan dan penafsiran data yang lebih maju.

Berdasarkan data prasasti Sriwijaya dan beberapa pemikiran dari para ahli arkeologi diketahui bahwa Sriwijaya berkembang pada ± abad VII – XIII. Selama tujuh abad, perkembangan Sriwijaya sebagai sebuah kerajaan terbilang pesat, Sriwijaya dikenal sebagai pusat agama Buddha di Asia. Peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang telah ditemukan berupa prasasti lengkap ± ada 15 buah yang didominasi oleh prasasti yang parsumpahan diketahui sebanyak enam buah yaitu, prasasti Telaga Batu, Karang Berahi, Kota Kapur, Jabung / Bungkuk, Palas Pasemah, dan Boom Baru.

Parsumpahan merupakan sebuah aturan yang dibuat oleh raja Sriwijaya dan dituangkan dalam prasasti. Parsumpahan ini memiliki beberapa fungsi yang diharapkan mampu memberikan manfaat bagi seluruh warga diwilayah Kerajaan Sriwijaya. Fungsi parsumpahan ini meliputi fungsi politik, sosial, dan keagamaan.

Fungsi Sosial, yaitu sebagai berikut.

1. Sebagai alat pengendalian sosial yang bersifat represif dan mengikat, serta mengatur rakyatnya agar tercipta keadaan yang aman, tertib dan tenteram.

Fungsi Keagamaan, yaitu sebagai berikut.

1. Sebagai alat untuk menegakkan dan melestarikan ajaran Buddha serta untuk memperkuat aturan – aturan yang telah ditetapkan dalam prasasti oleh seorang raja atau penguasa saat itu berdasarkan ajaran agama Buddha.

Fungsi Politik, yaitu sebagai berikut.

1. Sebagai alat untuk mencegah/menghindari tindakan – tindakan menyimpang yang dilakukan oleh warga yang tinggal di wilayah kekuasaan Sriwijaya.

2. Sebagai bentuk legitimasi Raja Sriwijaya untuk mempertahankan kekuasaannya terhadap rakyat agar selalu patuh, taat, dan setiap terhadap Kerajaan Sriwijaya.

1 komentar: